Sabtu, 25 Juli 2015

selamat tinggal Edo...

Kamu tega banget sama aku. Membiarkan semua kenangan itu menjadi milikku seorang. Tidakkah kamu ingin memiliki sebagiannya? Kamu yakin meninggalkan semuanya hanya untukku? Kamu tega sekali paman.

...

Kamu ada disana, menunggu seorang wanita yang sudah dua puluh lima menit ngaret dari jadwal. Hebatnya ketika wanita itu datang kamu masih tersenyum dan kamu bilang kamu juga baru saja sampai. Aku memerhatikan mu sejak pertama kali kamu duduk di bangku itu. Aku yakin kamu sudah menunggu wanita itu tidak kurang dari dua puluh lima menit. Kamu sangat baik paman.

Aku sama sekali tidak pernah menyangka akan bertemu lagi dengan mu disini, di tempat faforit ku, sebuah cafe dengan perpustakaan di lantai atas. Kenapa kamu ada disini? Mungkin ini hanyalah kebetulan. Tapi aku ingin tahu apa yang kamu lakukan disini, apakah melalukan hal yang sama denganku yang hanya memesan secangkir kopi susu dan langsung terlena dengan berbagai buku disini. Aku mengurungkan niatku untuk memperhatikanmu ketika dia datang, wanita yang membuatmu menunggu hampir setengah jam sambil duduk termenung di bangku taman kota. Teryata kamu menunggu wanita itu lagi. Ku sarankan paman tinggalkan saja wanita itu, dia selalu membuatmu menunggu untuk waktu yang lama, kali ini memang hanya dua puluh menit tapi kurasa itu cukup membuat bosan.


Beberapa hari berlalu dan aku tidak lupa wajah mu. Aku ingat persis karena kamu memang sering sekali mampir di pikiranku, entah kenapa. Hari ini kita bertemu lagi, di taman kota. Kali ini kita bertatap muka karena kamu baru saja menabrak sebelah bahu lemahku ini. Kamu memang pria baik. Setelah membuatku jatuh kamu membantu membereskan beberapa file map serta beberapa buku pelajaran milikku yang terjatuh. Hal seperti ini ku kira hanya ada di drama korea, ternyata ada yang nyata, kamu. “lo nggak apa apa kan? Sorry banget ya gue sambil main hp jalannya, duh jadi nggak enak gue, lo nggak luka kan ya?” pertanyaan mu panjang sekali haha.

Aku jelas saja kenapa-kenapa “iya gue nggak apa-apa kok santai aja, jaman sekarang kan emang orang kalo jalan sambil mainan hp, cuma gue doang yang masih jaman batu jalan sambil bawa buku haha” aku menjawab pertanyaanmu dengan senyum sumringah yang tulus, aku yakin itu.

“setau gue jaman batu nggak ada yang bawa buku mba hahaha” ketika tertawa aku masih bisa melihat kamu punya beban, wajah mu melukis itu.

“gue cantik gini dipanggil mbak nih sama lo? Enak aja lo! Haha” ini adalah sebuah kode mengajak berkenalan, semoga kamu paham.

Sepertinya kamu paham “oke kalo gitu, gue edo, lo?” kamu mengulurkan tangan dengan senyum tulus, memintaku berkenalan.

Tentu saja akan ku balas uluran tanganmu “Kiera, panggil aja Ki hehe”  itu sangat aneh, bersalaman denganmu membuat aku merasakan sesuatu yang sangat aneh.

Sejak kejadian kecil itu kita lebih sering bertemu dan berbincang tentang banyak hal. Sampai aku tau ternyata wanita gila yang suka membuatmu menunggu lama itu adalah pacarmu, yang sangat kau cintai, tapi entah dia juga cinta padamu atau tidak. Sayang sekali pria sebaik paman mendapatkan wanita gila seperti dia, yang tak akan pernah kusebut namanya. Mengingat namanya saja memuatku kesal setengah mati, tunggu, kenapa aku kesal? Tidak ada hubungannya sama sekali dengan diriku haha.

Sudah sekitar delapan bulan ini kita menjadi teman baik, dan menjadi sangat dekat. Bahkan aku tidak bisa kemana-mana tanpa dirimu, padahal dulu aku bisa sendiri. Mungkin ini juga bagian egois diriku yang tidak rela di acuhkan dirimu. Berbeda denganku, kamu justru jadi bisa melakukan segalanya sendiri, menyusun skripsi mu yang sudah setahun ini kau susun bersama dia dan tidak kunjung selesai. Sampai mencari referensi tempat untuk membuka cafe impianmu yang akan segera kau bangun. Kita jadi sering pergi liburan bersama, apalagi semenjak kamu putus dengan pacar gilamu itu. Kamu banyak memgenalkan tempat-tempat baru kepadaku, membuat kenangan manis untuk diriku dan mewarnai detik-detik hidupku yang biasanya hanya terisi dengan buku dan laptop kesayanganku. Sepertinya perasaanku padamu berubah, aku menyadarinya. Aku menyukaimu, bukan sebagai teman, tapi sebagai pria dewasa. Sikap ini tidak aku sadari perubahannya, dan sepertinya kamu menyadari.

Hari ini kita sepakat bertemu di tempat faforit kita, cafe dengan perpustakaan di lantai atasnya. Aku sampai, lalu mencari sebentar dimana dirimu duduk, ketemu, kamu selalu duduk di sana, di sebelah rak nomer sebelas yang arahnya menghadap jalan. Aku ingat alasanmu suka duduk disana “biar kalo janjian sama orang gampang liat orangnya udah dateng apa belom ki” itu kan alasanmu? Iya memang itu. Aku duduk tepat di depanmu, dengan secangkir kopi susu kesukaanku yang sudah kau pesan untukku sebelum aku datang. Aku merasakan hal aneh, seperti kamu ingin mengatakan hal-hal mengenai perpisahan denganku.

“udah lama kita nggak kesini ya do, main ke luar terus kita” ucapanku membuka pembicaraan yang sepertinya akan terasa canggung hari ini.

“iya udah lama banget, terakhir dua bulan yang lalu kan? Kamu ulang tahun ke dua puluh satu” jawabanmu seperti ada nada sedih, ada apa sebenarnya.

Aku mulai bertanya-tanya “terus kita ada agenda apa nih hari ini? Tumben banget kamu ngajak aku kesini do” bahkan sapaan kita sudah berubah menjadi aku dan kamu.

“kayaknya kita nggak akan bisa sering-sering bareng gini lagi ki, aku..” setetes air mata terlihat jatuh menyusuri pipi mu yang menurutku sama sekali tidak lembut itu.

“kayaknya ini adalah moment perpisahan ala drama ya do? Kamu mau kemana? Study abroard? Atau ternyata kamu kena penyakit serius? hahaha” aku berusaha mencairkan suasana yang sangat kaku ini.

Kamu terlihat berusaha keras menahan tangis “kamu orang paling ceria yang aku kenal kiera, sangat ceria” ucapanmu diikuti tertawa sedih.

Lalu aku juga sedang berusaha menahan tangisku “please deh do, ada apa? Bilang aja” sepertinya ini kalimat penyemangat yang paling efektif.

“aku nggak kemana-mana ki, aku cuma seneng liat kamu sampe nangis gini. Aku seneng banget punya temen seceria kamu, aku harap akan selalu” katamu sambil mengelap air matamu.

Kamu manja sekali ternyata yaa “kamu jadi melankolis gini deh do ahaha, nggak cocok sama sekali tau” aku mulai sangat sedih.

“Ki aku duluan ya, aku ada kerjaan penting sore ini. Jangan baca buku terus ki nanti matamu lelah...” apa ini? Pergi dengan pesan? “biarkan matamu istirahat, ajak lihat pemandangan segar sering-sering, jangan buku terus yang dilihat ehehehe” lalu kamu mengacak rambutku dengan pelan dan pergi.

Aku tidak sempat mengatakan apa-apa ketika kamu pergi.

Sudah seminggu sejak terakhir kali kita bertemu. Kamu benar-benar hilang, tidak ada kabarnya. Kemana sebenarnya kamu? Benar saja kemarin itu perpisahan seperti di drama korea yang sering aku tonton. Segala bilang kalo kamu nggak akan pergi kemana-mana lagi, bohong besar. Alasanmu bagus sekali tapi klise. Aku jadi seperti bintang korea yang sedang memainkan drama. Aku tidak menyukainya. Kamu terlalu dalam masuk dikehidupan yang sangat gelap ini, hingga terlalu membuat terang. Sekarang lampunya hampir padam lagi dan kamu belum kembali, mungkin tak akan.

Sekarang sudah satu setengah tahun sejak kepergianmu, andai kamu masih disini aku ingin sekali mengundangmu ke acara wisudaku bulan depan. Lihat paman aku lulus, setelah banyak hal di skripsiku tentang kamu. Skripsiku meneliti perasaan-perasaan wanita yang ditinggalkan orang yang dicintainya. Ada beberapa halaman yang kudapat dari pengalamanku bersamamu. Aku ingin berterimakasih karena kamu lumayan membantu keerhasilan skripsiku. Tapi aku juga ingin membunuhmu karena meninggalkan aku tanpa alasan kuat dan jelas. Belakangan ini aku jadi memanggilmu paman yaa, karena kau ku anggap sudah tua haha, jadi jika bertemu dan kau benar-benar akan kubunuh alasanku adalah karena kamu sudah tua dan aku mempercepat proses saja. Tidak ding, tidak akan kubunuh. Mana mungkin aku rela membunuh orang yang benar-benar aku cintai. Kamu terlalu berarti paman.

Aku pergi ke salah satu butik di salah satu pusat perbelanjaan di  Jakarta, aku akan memesan kebaya untuk acara wisudaku nanti. Aku merasa ini sebuah keberutungan, kenapa? Karena ternyata pemilik butik itu adalah ibu kandungmu Edo. Aku senang sekali saat mengetahuinya. Namun kesenanganku sekejap berubah menjadi tangis yang berderai-derai. Tidak aku sangka kamu benar-benar pergi  Edo. Kenapa kamu tidak pernah bilang kalau kamu mengidap kanker getah bening sejak tiga tahun sebelum kita saling kenal. Dan kenapa tidak memberikan hadiah terakhirmu padaku sebelum kamu benar-benar pergi Edo?

Pagi ini aku pergi ke tempat peristirahatanmu yang terakhir. Di depan pusaramu aku berjongkok, berdoa untuk keselamatanmu menuju surga “hai do! Apa kabar? Kamu nggak kesepian tanpa aku? Aku kesepian banget nggak ada kamu do...” aku mulai menangis “kamu nggak kangen aku do? Aku kangeeennn banget sama kamu do, kamu tau kan semenjak ada kamu aku nggak bisa kalo nggak sama kamu...” bodoh sekali aku berbicara dengan batu nisan bertuliskan namamu. Edo Gravandi Fardhan lahir 14 Januari 1989 wafat 19 Desember 2014.

“eh do kamu tau nggak? Aku udah mau wisuda loh do hehe terus kebaya buat wisudanya mamah kamu yang buat do...” aku terus saja bercerita pada batu nisan “mamah kamu keren banget bikin desain kebaya buat akunya do, aku suka banget” aku memang memiliki banyak hal yang ingin kuceritakan pada Edo “harusnya kamu jangan pergi dulu biar bisa lihat aku wisuda do, kamu kan yang paling pengen aku wisuda kan? Kata kamu biar punya temen psikiater cantik haha kamu gombal juga ya do” Edo selalu punya kata-kata untuk menyemangati aku. Aku terus saja bercerita hingga malam ingin menjelang “do udah mau malem, aku pamit yaa, aku bakalan kesini lagi buat ngerayain ulang tahun kamu januari nanti yaa! Sampai jumpa do, aku sayang banget sama kamu” terakhir kutancapkan rangkaia bunga yang pernah Edo berikan untukku saat aku ulang tahun, bunga mawar merah bercampur putih satu ikat tanpa di bungkus plastik pemanis.


Hari ini menjadi hari yang sangat melelahkan dan sekaligus menyenangkan. Akhirnya aku bertemu Edo walau hanya batu nisannya saja, tapi aku lelah karena harus menangis berjam-jam saat menceritakan hari-hariku tanpa Edo. Edo Gravandi Fardhan, pria tinggi dan kurus dengan tatanan rambut ala boyband korea dan matanya yang berwarna abu-abu cerah itu telah membuat aku jatuh cinta dengan dalam dan pergi tanpa aba-aba.

Aku mencintainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar